Ayat yang kami baca di mukadimah khutbah tadi bermakna:
“Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Tuhan kami adalah Allah” kemudian mereka istiqamah dalam ketaatan, maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata), “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu” (QS Fushshilat: 30).
Dalam ayat tersebut, Allah menyifati para wali kekasih Allah sebagai orang-orang yang berkata dan meyakini: “Tuhan kami adalah Allah”. Artinya syarat pertama menjadi wali adalah beriman kepada Allah dan mengenal-Nya dengan benar sebagaimana mestinya. Para wali pasti meyakini bahwa Allah benar-benar ada tapi tidak seperti segala yang ada. Mereka meyakini bahwa Allah berbeda dari segala sesuatu, Pencipta segala sesuatu dan tidak membutuhkan kepada segala sesuatu.
Dalam ayat Surat Fushshilat ayat 30 tersebut, Allah juga menyifati para wali sebagai orang-orang yang istiqamah dalam ketaatan. Artinya, mereka senantiasa melakukan kewajiban dan meninggalkan perkara yang diharamkan. Tanpa aqidah yang lurus dan tanpa istiqamah dalam ketaatan, seseorang tidak akan mencapai derajat kewalian. Atau dengan kata lain, tanpa iman dan takwa, seseorang tidak akan mungkin menjadi wali.
Hadirin rahimakumullah,
Jalan pertama menuju takwa adalah mempelajari ilmu agama yang fardhu ‘ain lalu mengamalkannya. Orang yang belum mempelajari ilmu agama yang fardhu ‘ain dan mengamalkannya tidak akan pernah mencapai derajat takwa, apalagi menjadi seorang sufi atau wali.
Meskipun keturunan seorang wali, memperbanyak ibadah, dzikir dan khidmah kepada para wali, tanpa mengaji ilmu agama yang fardhu ‘ain dan mengamalkannya, seseorang tidak akan menjadi wali.
Dengan ilmu agama yang fardhu ‘ain, seseorang dapat membedakan antara yang halal dan haram dan mengetahui apa yang Allah wajibkan kepadanya dan apa yang Allah haramkan baginya.
Syekh Abdul Qadir al-Jailani sebelum fokus dan berkonsentrasi penuh melakukan ibadah, beliau terlebih dahulu menuntut ilmu yang fardhu ‘ain kepada guru-gurunya. Begitu juga seluruh wali yang lain.
Imam al-Junaid al-Baghdadi, penghulu para sufi rahimahullah mengatakan:
طَرِيْقُنَا هذَا مَضْبُوطٌ بِالكِتَابِ وَالسُّنَّةِ إذِ الطَّرِيْقُ إلَى اللهِ مَسْدُوْدَةٌ إلاّ عَلَى الْمُقْتَفِيْنَ آثَارَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم
“Jalan kami ini (tasawuf dan kewalian) diikat Al-Qur’an dan Sunnah, karena sesungguhnya setiap jalan menuju Allah itu tertutup kecuali bagi mereka yang berpegang teguh dengan apa yang digariskan Rasulullah” (Badruddin az-Zarkasyi, Tasynif al-Masami’ bi Syarh Jam’ al-Jawami’, 2: 358).
Imam Syafi’i menegaskan:
مَا اتَّخَذَ اللهُ وَلِيًّا جَاهِلًا وَلَوِ اتَّخَذَهُ لَعَلَّمَهُ
“Allah tidak mengangkat seorang wali yang bodoh. Seandainya Allah mengangkatnya menjadi wali, niscaya Allah pasti memudahkan jalan baginya untuk memahami ilmu agama” (Al-Mulla ‘Ali al-Qari, Mukadimah Mirqat al-Mashabih)